Kamis, 24 Mei 2012

Mangrove

PENGARUH KERUSAKAN MANGROVE TERHADAP SIKLUS MATERI DAN ALIRAN ENERI SISTEM RANTAI MAKANAN Manis Suharjo 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut merupakan salah satu bagian utama dari komposisi permukaan bumi. Perbandingan daratan dan lautan adalah 30 % bagian dari permukaan bumi adalah daratan, dan 70 % sisanya adalah lautan. Nybaken (1992) membagi secara garis besar daerah perairan laut menjadi 2 (dua) kawasan utama yaitu pelagik dan bentik. Zona pelagic adalah zona permukaan laut yang menerima cahaya matahari (fotik), sedangkan zona bentik adalah zona dasar laut yang kurang atau tidak sama sekali menerima cahaya matahari (afotik). Pada zona pelagik terdapat 3 jenis ekosistem utama yang memiliki produktivitas primer yang tinggi dan umum dijumpai yaitu ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Mangrove merupakan suatu formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, lantai hutannya tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai fungsi yang spesifik yang keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan dan lautan. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas yang tinggi yang memproduksi sumber makanan untuk sebagian besar berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan berbagai biota perairan pantai lainnya. Disamping itu dari segi perikanan, mangrove juga berperan sebagai spawning dan nursery grounds. Kesemua fungsi mangrove tersebut tetap ada selama vegetasi mangrove dapat dipertahankan keberadaannya. Keberlangsungan fungsi ekosistem mangrove ditentukan oleh proses ekologi internal yang secara signifikan dipengaruhi oleh proses eksternal sebagai berikut: (1) pasokan yang seimbang dari jumlah air tawar dan air laut, (2) suplai nutrien yang cukup, dan (3) kondisi substrat yang stabil. Apabila salah satu faktor eksternal ini terganggu, maka proses ekologis internal dari ekosistem mangrove akan terganggu yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan/hilangnya mangrove tersebut. 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud penulisan makalah ini adalah sebagai bahan pengajaran dalam memahami dan mempelajari hubungan mangrove dengan sumberdaya ikan sebagai bahan dalam pembelajaran mata kuliah. Sedangkan tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui pengaruh mangrove terhadap sumberdaya ikan di pesisir sekitar mangrove. 1.3. Perumusan Masalah Hutan angrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga dan penghasil keperluan industri. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya Memperhatikan hal tersebut diatas maka kami merumuskan masalah adalah “bagaimana pengaruh kerusakan ekosistem mangrove terhadap sumberdaya ikan?” 2. STUDI PUSTAKA 2. 1. Pengertian Ekosistem Mangrove Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan (ekologis) yang unik (Dahuri et al., 1996; Brown, 1996). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al., 2001). Wilayah pesisir merupakan habitat utama dari hutan mangrove di Indonesia. Wilayah ini dikenal sarat dengan keindahan dan sekaligus konflik kepentingan, sehingga ekosistem di wilayah tersebut menghadapi berbagai ancaman dan masalah perusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti pekerjaan reklamasi pantai, pengeboman dan peracunan terumbu karang, pembangunan perumahan, jembatan penghubung antar pulau, pembangunan dermaga, pencemaran limbah rumah tangga dan industri, penebangan dan konversi mangrove menjadi lahan pertanian, tambak, kolam ikan, daerah industri dan sebagainya, sehingga menghilangkan sebagian besar mangrove, terutama di negara tropis, seperti Indonesia. Mangrove sebagai sumberdaya pada dasarnya terdiri atas (1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut. Pengertian mangrove secara umum adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa, hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1992). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Sedangkan ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Mangrove (bakau, api-api dan sejenisnya) adalah vegetasi khas di daerah pesisir pantai. Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang ada di Kabupaten Karawang adalah Rhizopora apicullata, Rhizopora mucronata, Avicennia marina, Sonneratia alba dan Lumnitzera racemoza. 2. 2. Konsep Predator – Prey di Ekosistem Mangrove Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan positif antara ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap. Pemikiran tersebut didasarkan pada fungsi hutan mangrove yang antara lain adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground) berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kerang. Ada hubungan yang menarik antara keberadaan hutan mangrove dengan biota perairan dalam coastal zone dan ikan pelagis besar di laut lepas yaitu melalui jalur rantai makanan (predator – prey), seperti terlihat pada Gambar berikut ini : Konsep predator – prey pertama sekali dipelopori secara terpisah oleh ahli kimia fisika dari Amerika yang bernama Lotka dan ahli matematik dari Itali Volterra. Konsep ini kemudian dikenal dengan model Lotka Volterra. Pada Tahun 1926, Volterra pertama menggunakan model ini untuk menjelaskan tingkat osilasi penangkapan ikan tertentu di Adriatic. Secara konkrit, konsep Lotka Volterra ini pernah diterapkan pada perikanan di Italia setelah Perang Dunia II. Ketika itu masyarakat Itali ramai-ramai menangkap ikan pelagis kecil yang ada di sekitar perairan pesisir. Karena input atau effort yang cukup tinggi, sehingga lama-kelamaan terjadi tangkap lebih (overfishing) dan degradasi sumber daya ikan di tempat tersebut. Setelah setahun kemudian, ternyata hasil tangkapan pelagis besar dari laut lepas mengalami penurunan secara signifikan. Setelah diteliti diketahui bahwa ada hubungan rantai makanan antara pelagis kecil yang ada di perairan pesisir dan pelagis besar yang ada di laut lepas. Karena ketersediaan pelagis kecil (sebagai prey) telah terdegradasi akibat overfishing, maka ikan pelagis besar (sebagai predator) kekurangan makan, sehingga mereka pindah (migrasi) ke tempat lainnya yang masih tersedia cukup makanan. Di Indonesia model ini dapat diterangkan pada pengelolaan ekosistem mangrove di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dimana mengrove sebagai tempat habitat berbagai macam ikan, crustacean, mollusca, dan burung serta mendukung kehidupan reptile dan mamalia. Masyarakat percaya bahwa akar mangrove dapat berperan dalam melindungi ikan kecil dari pemangsa. Ketika ikan menjadi dewasa, mereka meninggalkan payau dan pindah ke estuaria, karang, dan laut lepas. Ikan utama yang dapat ditangkap di ekosistem mangrove sepanjang pesisir Aceh adalah pelagis kecil, udang, kerapu, kakap, teri, bandeng, dan lain-lain. Untuk melihat interaksi ini digunakan Model Fozal. Pada dasarnya model ini diturunkan dari kurva yield-effort model logistik, yaitu dengan memasukkan variabel hutan mangrove pada daya dukung lingkungan (carrying capacity). Data yang digunakan adalah data time series selama 21 tahun (1984 – 2004) dari produksi udang dan beberapa jenis pelagis kecil yang ditangkap dengan alat tangkap pukat pantai, payang, dan jaring klitik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada interaksi positif antara keberadaan hutan mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil, sebesar 27,21%. Artinya 27,21% produksi udang dan pelagis kecil di Provinsi NAD dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove (Indra, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa peran ekosistem mangrove cukup penting dalam menentukan tinggi rendahnya produksi perikanan tangkap. Penelitian yang sama dilakukan oleh Efrizal tahun 2005 menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi 44,18 % terhadap produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Bengkalis, Riau. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Paw and Chua tahun 1989 menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara luas area mangrove dengan penangkapan udang penaeidaedi Philipina. Martusobroto dan Naamin tahun 1979 menyatakan bahwa ada hubungan positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Penelitian Sudarmono tahun 2005 menyatakan bahwa sekitar 30 persen produksi perikanan laut tergantung pada eksistensi hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan berbagai biota laut, termasuk beberapa jenis ikan tertentu. Daun mangrove yang jatuh menjadi detritus yang dapat menambah kesuburan kawasan sehingga menjadikan tempat ini disukai oleh biota laut tersebut dan menjadikannya sebagai tempat bertelur, memelihara larva, dan tempat mencari makan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang penaeidae dan ikan banding. Menyadari pentingnya hutan mangrove bagi pertumbuhan ikan dan berbagai biota laut lainnya, maka rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, ketersediaan stok ikan di perairan Aceh akan semakin memprihatinkan. Sebagai konsekuensinya, para nelayan kecil yang menangkap ikan di sekitar perairan pantai dengan menggunakan boat atau perahu kecil akan semakin sulit mendapatkan hasil yang memadai. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan mereka.* 2. 3. Aliran Materi Pada Ekosistem Mangrove Materi anorganik yang masuk ke lingkungan mangrove akan dimanfaatkan oleh produsen dalam hal ini adalah tumbuhan mangrove untuk kebutuhan fotosintesis. Nutrien tersebut berupa Karbon organik, Nitrogen, dan Posfat dan bentuk nutrien yang lainnya. Mangrove akan menghasilkan serasah berupa bunga, ranting dan daun mangrove yang jatuh ke perairan sebagian akan tenggelam atau terapung di perairan tersebut dan sebagian lagi akan terbawa oleh arus laut ke daerah lain. Serasah yang dihasilkan oleh pohon-pohon mangrove merupakan landasan penting bagi produksi ikan di muara sungai dan daerah pantai. Proses-proses kimiawi yang terjadi dalam ekosistem mangrove juga memberikan pengaruh bagi ekosistem lain di sekitarnya, seperti ekosistem lamun dan terumbu karang. Sebagian besar proses kimiawi dalam ekosistem mangrove terjadi di dalam substrat dan kolom air. Beberapa parameter yang penting dalam proses ini diantaranya adalah kekeruhan (siltasi), konduktivitas elektrik dan kapasitas pertukaran kation. Konsentrasi nutrien juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini, mangrove termasuk ekosistem yang seimbang karena sangat efektif dalam menyimpan (sink) nutrien dengan menyerap nitrogen terlarut, fosfor dan silikon. Transfer unsur hara (fluxes nutrien) terjadi melalui proses fotosintesis dan proses mineralisasi oleh bakteri (Kathiresan, 2001). Tumbuhan mangrove berperan meningkatkan kandungan nutrien dalam substrat melalui serasah berupa daun yang gugur dan materi organik/debris yang terjebak oleh akar. Substrat akan kehilangan zat hara lebih cepat jika komunitas mangrove menghilang. Kaly et al., 1997 dalam Kathiresan 2001 melaporkan, bahwa kerusakan komunitas mangrove di wilayah Queensland Utara, Australia, menyebabkan hilangnya konsentrasi nitrogen dan fosfor secara signifikan dari dalam substrat. Komunitas mangrove seringkali mendapatkan suplai bahan polutan seperti logam berat yang berasal dari limbah industri, rumah tangga dan pertanian (pupuk yang larut dalam air). Mangrove dalam keadaan normal memiliki kandungan logam berat yang rendah. Kandungan logam berat yang terdapat pada jaringan tubuh dari spesies Rhizophora mangle yang tumbuh di atasnya hanya sebesar mencapai 1 % saja. Dengan demikian, tumbuhan mangrove memiliki kemampuan untuk mencegah logam berat memasuki jaringan tubuhnya. Hal ini didukung oleh penelitian dari Sadiq dan Zaidi 1994 dalam Khatiresan 2001 yang dilakukan di Teluk Arab, Saudi Arabia. Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kandungan logam berat yang terdapat di jaringan tubuh mangrove dengan kandungan logam berat yang terdapat dalam sedimen (substrat) dimana mangrove tersebut tumbuh Zat organik yang berasal dari penguraian serasah hutan mangrove ikut menentukan kehidupan ikan dan invertebrata di sekitarnya dalam rantai makanan. 2. 4. Sistem Rantai Makanan di Ekosistem Mangrove Mata rantai makanan yang terdapat pada ekosistem mangrove ini tidak terputus. Pada dasarnya rantai makanan pada ekosistem mangrove ini terbagi atas dua jenis yaitu rantai makanan secara langsung dan rantai makanan secara tidak langsung ( rantai detritus ). a. Rantai makanan langsung Pada rantai makanan langsung yang bertindak sebagai produsen adalah tumbuhan mangrove. Tumbuhan mangrove ini akan menghasilkan serasah yang berbentuk daun, ranting, dan bunga yang jatuh ke perairan. Selanjutnya sebagai konsumen tingkat satu adalah ikan-ikan kecil dan udang yang langsung memakan serasah mangrove yang jatuh tersebut. Untuk konsumen tingkat dua adalah organisme karnivora yang memakan ikan-ikan kecil dan udang tersebut. Selanjutnya untuk konsumen tingkat tiga terdiri atas ikan-ikan besar maupun burung – burung pemakan ikan. Pada akhirnya konsumen tingkat tiga ini akan mati dan diuraikan oleh detritus sehingga akan menghasilkan senyawa organic yang bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove tersebut. b. Rantai makanan tidak langsung Pada rantai makanan tidak langsung atau rantai detritus ini melibatkan lebih banyak organisme. Bertindak sebagai produsen adalah mangrove yang akan menghasilkan serasah yang berbentuk daun, ranting, dan bunga yang jatuh ke perairan. Selanjutnya serasah ini akan terurai oleh detrivor / pengurai. Detritus yang mengandung senyawa organic kemudian akan dimakan oleh Crustacea, bacteria, alga, dan mollusca yang bertindak sebagai konsumen tingkat satu. Khusus untuk bacteri dan alga akan dimakan protozoa sebagai konsumen tingkat dua. Protozoa ini kemudian akan dimakan oleh amphipoda sebagai konsumen tingkat tiga. Lalu, baik crustacea ataupun amphipoda ini dimakan oleh ikan kecil (Konsumen Tingkat 4) dan kemudian akan dimakan oleh ikan besar (konsumen 5). Selanjutnya untuk konsumen tingkat enam terdiri atas ikan-ikan besar maupun burung –burung pemakan ikan dan pada akhirnya konsumen tingkat enam ini akan mati dan diuraikan oleh detritus sehingga akan menghasilkan senyawa yang bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove tersebut. 2. 5. Kerusakan Mangrove Ekosistem Mangrove merupakan ekosistem unik yang terletak pada zona pasang surut di daerah tropis maupun sub tropis. Hutan Mangrove ini memiliki peranan penting ditinjau dari sisi ekologis maupun sosial ekonomi bagi masyarakat, serta merupakan tempat yang cocok untuk daerah asuhan (nursery ground) berpijahnya ikan, udang, kerang, kepiting, tempat bagi fauna daratan seperti burung, mamalia. Secara ekonomis hutan mangrove ini menjadi kayu bakar bagi masyarakat, dan merupakan daerah tangkapan ikan (fishing ground) bagi para nelayan. Namun pesatnya pembangunan dan pemanfaatan lahan yang begitu masif menyebabkan makin mendesaknya tuntutan masyarakat untuk memperoleh manfaat ekonomis dari kawasan mangrove. Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya upaya konversi ekosistem mangrove oleh masyarakat setempat menjadi lahan tambak, lahan pertanian, pemukiman dan lain-lain. Ancaman terhadap ekosistem mangrove di Indonesia berada dalam kondisi yang serius dan terus meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya. Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove. Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai. Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri. Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi. Barangkali ancaman yang paling serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram. 2. 6. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kerusakan Mangrove Dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s.d. tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 %. Gambaran lain kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan Purwoko (2005) terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu, Sei Canggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang. Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana (2003) terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Rusaknya hutan bakau ini berakibat pada terputusnya rantai penghidupan dan obat-obatan masyarakat pesisir, musnahnya produktivitas perikanan dan habitat pesisir lainnya, serta meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi. Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. 3. METODOLOGI 3. 1. Metode Penulisan Makalah ini adalah makalah yang berdasarkan data sekunder atau data literatur dengan sistemetika penulisan berdasarkan sistem penulisan ilmiah yang terdiri dari Pendahuluan, studi pustaka, metodologi, pembahasan dan bab terakhir berupa kesimpulan dari penulisan ini. 3. 2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literature yaitu dengan mencari sumber-sumber data dari berbagai sarana seperti buku, internet maupun tulisan atau makalah dari para teknisi yang ahli dibidangnya. 3. 3. Metode Pembahasan Metode penulisan dalam makalah ini adalah menggambarkan dan memberikan informasi dari berbagai sumber untuk mendapatkan berbagai data yang dapat diolah sehingga dapat menjadi sebuah kesimpulan yang mampu dipertanggujawabkan keilmuan dari tulisan ini. 4. PEMBAHASAN 4.1. Interaksi Mangrove dengan Sumberaya Ikan Ekosistem mangrove merupakan ekosistem antara yang sangat penting peranannya untuk menjaga stabilitas sumberdaya perikanan. Sesuai Penebangan hutan mangrove dapat membawa dampak negatif, misalnya keanekaragaman jenis fauna di hutan tersebut berkurang secara drastis, sementara habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung dan mamalia terganggu berat. Dampak lain adalah hilangnya tempat bertelur dan berlindung jenis-jenis kepiting, ikan dan udang sehingga banyak nelayan mengeluh karena makin sedikitnya hasil tangkapan mereka. Pengikisan pantai pun makin menjadi, akibatnya air asin dari laut merembes ke daratan. Maka daerah pertanian dan pemukiman jadi terganggu. Belum lagi akibat jangka panjang dan dari segi ilmu pengetahuan, sangatlah sukar untuk dapat dinilai kerugian yang terjadi akibat kerusakan atau punahnya hutan mangrove tersebut. Apabila mangrove rusak atau punah akan menyebabkan salah satu proses dalam aliran energi dan siklus materi akan hilang dan akan menyebabkan proses dalam aliran energi maupun siklus materi akan terganggu dan bahkan berhenti. Hal ini terjadi karena mangrove atau ekosistem mangrove merupakan satu habitat dan juga tempat dari berbagai spesies menjalankan fungsinya dalam relung kehidupan di mangrove. Mangrove sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi sebagai produsen atau sebagai sumber pertama pengolahan energi melalui fotosistesis. Ini berarti bahwa dengan bantuan cahaya matahari ditangkap oleh mengrove, dan maka dapat diubah menjadi energi kimia atau makanan yang disimpan di dalam tubuh tumbuhan. Kemudian akan mulailah proses aliran energi dan berlangsung dan membentuk suatu proses rantai makanan. Tumbuhan dimakan oleh herbivora, dengan demikian energi makanan dari tumbuhan mengalir masuk ke tubuh herbivora. Herbivora dimakan oleh karnivora, sehingga energi makanan dari herbivora masuk ke tubuh karnivora. Di alam rantai makanan itu tidak sederhana, tetapi ada banyak, satu dengan yang lain saling terkait atau berhubungan sehingga membentuk jaring-jaring makanan. Organisme-organisme yang memperoleh energi makanan dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama dimasukkan ke dalam aras trofik yang sama. Oleh sebab itu jika mangrove rusak maka dapat dipastikan bahwa proses rantai makanan diekosistem ini juga akan terganggu atau bahkan bisa berhenti yang pada akhirnya dapat mempengaruhi ekosistem yang lain. 4.2. Pengaruh Kerusakan Ekosistem Mangrove pada Kehidupan Manusia dan Makhluk Hidup di Sekitarnya Pada pokok bahasan pertama diatas diuraikan bahwa dengan kerusakan mangrove dapat mempengaruhi siklus materi dan aliran energi, hal ini tentu akan juga berpengaruh pada manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh kerusakan ekosistem mangrove pada manusia dapat kami uraikan sebagai berikut : a. Kerugian secara ekonomi Kerugian secara ekonomi dapat dilihat dari semakin berkurangnya tangkapan ikan oleh nelayan, hilangnya mata pencaharian sebagain masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada mangrove, hilangnya potensi objek wisata. b. Kerugian secara Fisik Hilangnya pelindung pantai dari abrasi dan angin laut, hilangya peresapan air laut. c. Kerugian secara ekologis Secara ekologis kerugian akibat kerusakan mangrove tidak dapat dihitung seperti contoh hilangya penahan/penyerap carbon diudara, terganggunya siklus materi dan rantai makanan ekosistem mangrove, hilangnya sumber bahan organic bagi detretus, hilangnya tempat pemihajan bagi sebagian spesies ikan, tidak adanya lagi penyerap polutan dari berbagai macam polutan dari DAS dan sebagainya. 5. KESIMPULAN Mangrove memiliki banyak fungsi salah satunya sebagai tempat terjadinya proses rantai makanan. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari pembahasan, bahwa ; a. Ekosistem mangrove yang kaya akan nutrien, dimanfaatkan oleh organisme lainnya sebagai Feeding Ground (tempat mencari makan) yang selanjutnya membentuk rantai makanan. b. Rantai makanan membentuk proses pengalihan energi didalamnya dengan tumbuhan menjadi sumber utama. c. Kerusakan ekosistem mangrove dapat menyebabkan terganggunya sistem aliran energi dan siklus materi dan bahkan dapat menyebabkan berhentinya sistem tersebut. d. Bahwa dengan kerusakan mangrove dapat menyebabkan kerugian bagi manusia baik secara fisik, ekonomis, dan ekologis DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Ekosistem Pesisir Jawa Barat 2. http://uwadadang.blogspot.com/2007/12/ekosistem-pesisir-jawa-barat-2.html Anonim. 2010. Fauna Mangrove dan Interaksi di Ekosistem Mangrove. http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index.php?option=com_content&task=view&id=18&Itemid=57 Anwar, C. 2005. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis Masyarakat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat sebagai Solusi Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan, Cisarua, 12 Desember 2003: 21-26. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 32 Bengen, Dietriech G, 2004a, Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Penge%laannya - Sinopsis, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor. Bengen, Dietriech G, 2004b, Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan EkosistemMangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor. Dahuri, R. 2000. Prosepek Pengembangan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Nybakken, J .W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Pakpahan, AM. 1993. Kerusakan dan Upaya Rehabilitasi Hutan Mangrove di Cagar Alam Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Dalam Simposium Nasional Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan Mangrove STIPER. Yogyakarta. Siddiqi, NA. and Hussain, KZ. 1994. The Impact of Deer on Natural Regeneration in the Sunderbands Mangrove Forest of Bangladesh. Bangladesh Journal of Zoology 22 (2), 223-234.

Senin, 09 November 2009

CARA BUAT WAJAN BOLLIC

cara buat wajan bollic dengan..........
Tutorial singkat pembuatan “Antena Wajanbolic 2.4 Ghz”
Yang perlu anda miliki anda sekarang mungkin :
1. USB WIFI Kingnet ( itu yang saya pakai,yang lainnya juga bisa ).
2. Wajan penggorengan terserah mau ukurannya berapa mau yang gede mau yang kecil juga bisa sesuai selera anda aje…

Tutorial singkat pembuatan “Antena Wajanbolic 2.4 Ghz”


Yang perlu anda miliki anda sekarang mungkin :
1. USB WIFI Kingnet ( itu yang saya pakai,yang lainnya juga bisa ).
2. Wajan penggorengan terserah mau ukurannya berapa mau yang gede mau yang kecil juga bisa sesuai selera anda aje…
3. Baut + Mur + Ring + yang agak panjangan dikit ( kira2 10 cm diameternya 1 cm <===biar agak kuatan dikit…:smile:).
4. Klem antena TV yang modelnya setengah lingkaran ( sesuai ama pipa yang buat tangkringan Wajan penggorengan ).
5. Bor Listrik kalau ada kalau ngga ada ya… usaha dikit dech ..pinjem kek ama temen atau ke tukang bubut mesin p :)
6. Konektor USB WIFI ( buat nambahin biar lebih panjang kabelnya kira2 sampai 10 meter lebih ).
7. Kabel UTP pastinya yang bagus gw pakai Belden <=== itu aja dapet dikasih temen gw, kekekekekkk.
8. Pipa plastik ukuran 1 1/4 Inchi ( sesuaikan ama Rumus yang dibawah yeh…)
9. Kaleng bekas ( bekas apaan kek or mulung dikit jg gpp daripada harus beli )
10. Lem perekat buat ngelem pipa plastiknya biar ngga kemasukan air hujan )
11. Tutup pipa 1 1/4 Inchi juga == 2Ea/ buah.
12. Selamat mencoba aja dech…P:)( ntr kalo bingung email aja key…)

dari kebutuhan diatas mungkin teman2 bisa mengganti atau ngga harus sama ama kebutuhan yang saya cantumin diatas, kreatifitas anda ketrampilan anda juga sangat mendukung dalam meminimalisir kebutuhan biaya.

RUMUS nya nech..:

f = D^2 / (16*d)

Hasil yang Ditujukan adalah Seperti ini :

CATATAN PENTING :

Antenna Wireless Wajan Bolic ini hanya berjalan di frekwensi 2.4 Ghz
Fungsi dari Antenna Wireless Wajan Bolic ini adalah sebagai peralatan komunikasi Internet
di sisi Client (CPE = Customer Premises Equipment) yg murah meriah.
Dalam penggunannya Antenna Wireless Wajan Bolic ini harus di arah kan ke Access Point (AP).
Biasanya yg memiliki peralatan Access Point (AP) adalah penyelengara jasa koneksi internet seperti:
WISP (Wireless Internet Service Provider) atau
RTRWNet (Wireless Internet di lingkungan RT/RW sekitar tempat tinggal anda) atau
HOTSPOT di Kampus, Mall, Sekolah, Bandara dll.
Ingat sebelum anda membeli perangkat Antenna Wireless Wajan Bolic ini,
pastikan di tempat anda harus sudah ada penyelengara jasa koneksi internet (WISP/RTRWnet/HOTSPOT).
Dan dengan Antenna Wireless Wajan Bolic ini
“TIDAK MENJAMIN ANDA DAPAT MENIKMATI KONEKSI INTERNET SECARA GRATIS!”.
Jadi anda harus mengeluarkan biaya extra untuk dapat ber Internet dengan Antenna Wireless Wajan Bolic ini.
Biaya Internet sangat berfariasi tergantung dari penyelengara jasa koneksi internet seperti tersebut di atas.
Kisaran biaya internet adalah antara Rp. 150.000,- s/d Rp. 350.000,- per bulan.